Rabu, 15 Oktober 2008

REFERENSI PELAJARAN 01c - PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

Kebergantungan Manusia kepada Allah

Pemazmur menunjukkan kepada kita untuk mengingatkan kedudukan kita sebagai manusia dengan perkataan ini:
"Ketahuilah bahwa Tuhanlah Allah: Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya." (Mzm. 100:3)
Manusia tidak lebih kurang dalam kebergantungan kepada Allah dibandingkan dengan ciptaan Allah yang lain. Oleh karena keduanya adalah ciptaan Allah yang perlu didukung oleh Allah. Manusia merupakan mahkota dari aktivitas penciptaan Allah, tetapi ia tetap merupakan makhluk ciptaan dan akan kembali kepada debu pada suatu waktu (Kej. 2:7)
"Di dalam Dia kita hidup dan bergerak." (Kis. 17:28). Oleh karena itu apabila terpisah dari Allah kita bukanlah apa-apa. Segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia merupakan pemberian dari Allah. SebagaimanaHalnya dengan ciptaan yang lain, apabila Allah lepas tangan daripada kita maka kita akan berhenti dari keberadaan kita. Kita berada semata- mata hanya oleh karena kehendak Allah.
Kebergantungan secara mutlak dari manusia kepada Allah mempunyai banyak implikasi, tetapi ada dua aspek dan kebutuhan kita akan Allah yang khususnya penting untuk pekerjaan apologetika selanjutnya.
1. Kebergantungan pengetahuan manusia
Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan mempengaruhi pandangan kristiani akan kemampuan manusia untuk mengetahui dirinya sendiri, dunia di sekelilingnya, dan Allah. Dalam pelajaran berikut ini kita akan memperhatikan diri kita sendiri dalam hal pengetahuan secara terinci, khususnya setelah dicemari oleh dosa. Tetapi sangat penting untuk terlebih dahulu membicarakan pengetahuan manusia dalam hal yang lebih khusus.
Seperti yang telah kita mengerti manusia secara mutlak bergantung kepada Allah. Ini termasuk pengetahuannya. Pengertian Allah akan diri- Nya dan ciptaan adalah berdiri sendiri tetapi pengetahuan manusia tidak berdiri sendiri. Pemazmur menyatakannya sbb.:
"Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang." (Mzm. 36:10)
Terlepas dari terang Allah melalui penyataan-Nya dalam ciptaan dan Firman Tuhan, kita tidak akan pernah mengerti tentang terang. Allah mengetahui segala sesuatu. Setiap pengertian yang benar yang telah manusia dapatkan baik secara sadar atau tidak sadar, semua itu didapatkan daripada Allah. Hal ini berlaku bagi manusia pertama dan semua orang sampai sekarang. Tuhan Yesus sendiri mengakui sbb.:
"Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup." (Yoh. 14:6)
Rasul Paulus menegaskan hal ini dengan mengatakan:
"sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan." (Kol. 2:3)
Segala sesuatu yang dapat dinyatakan sebagai kebenaran, termasuk kebenaran yang tidak secara langsung berkenaan dengan agama atau kerohanian bersumber daripada Allah. Dan manusia hanya mengetahuinya apabila manusia datang kepada penyataan Allah akan diri-Nya sebagai sumber dari kebenaran. Oleh karena Allahlah yang mengajarkan kepada manusia akan segala pengetahuan (Mzm. 94:10).
Kita akan melihat kemudian bahwa kebergantungan manusia kepada Allah dalam ruang lingkup pengetahuan tidaklah berarti bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengasah pemikirannya. Dan juga tidak berarti bahwa manusia diprogram oleh Allah seperti halnya dengan sebuah komputer dalam proses pengumpulan data sehingga komputer mengetahui sesuatu. Manusia memang mempunyai kemampuan untuk dapat berpikir namun pengetahuan yang benar bergantung kepada pengetahuan Allah, dan berasal dari pengetahuan Allah yang telah dinyatakan kepada manusia.
2. Kebergantungan moralitas manusia
Sebagaimana halnya manusia harus bergantung kepada Allah untuk pengetahuan secara umum, demikian juga halnya dengan petunjuk dalam bidang moralitas. Pada saat di mana nilai-nilai dan tujuan-tujuan tradisi dipertanyakan, maka kita dipaksa untuk memikirkan bagaimana manusia dapat membedakan antara benar dan salah, atau baik dan jahat.
Salah satu cara untuk dapat berhasil menemukan jawaban untuk pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan semacamnya sekali lagi kita harus berdasar pada pengakuan perbedaan Pencipta dengan ciptaan. Sebagai Pencipta, Allah sejak semula adalah Pemberi hukum yang berdiri di atas hukum-Nya, dan yang mengharapkan ketaatan dari makhluk ciptaan-Nya.
Pada saat Allah berkata, "Ini adalah baik." Dia menyatakan diri-Nya sebagai satu-satunya Hakim yang benar yang dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat dan Dia tetap mengaplikasikan hak itu bagi diri-Nya sendiri sampai sekarang. Kepada Adam dan Hawa Dia berkata, "dari buah pohon tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat jangan engkau memakan buahnya" (Kej. 2:17). Kepada Musa Ia menyatakan , "Aku adalah Tuhan Allahmu ... dan jangan ada allah lain di hadapan-Ku." (Kel. 20:2,3). Mengenai Yesus, Allah mengatakan, "Ini adalah Anak yang Kukasihi dan kepada-Nyalah Aku berkenan; dengarkanlah Dia." (Mat. 17:5).
Tidak akan pernah ada sidang pengadilan untuk menghakimi Allah: karena Dia adalah Hakim yang tertinggi. Oleh karena itu penyataan-Nya mengenai moralitas berlaku lagi bagi semua orang dan apabila kita ingin mengetahui mengenai hal yang baik dan yang jahat, kita harus mengingat akan kebergantungan kita sebagai makhluk ciptaan kepada Allah.
Untuk sampai kepada cara alkitabiah dalam berapologetika merupakan tugas yang sulit. Allah adalah Pencipta dan apabila kita sebagai makhluk ciptaan-Nya ingin mengetahui yang benar dan dapat memilih yang benar kita harus secara mutlak bergantung kepada penyataan-Nya.

Tiada ulasan: